Sunday, February 04, 2007

Pengawal Lusuh

“Ganti mobilnya ?”
Kupalingkan pandanganku dari bentangan koran di tangan. Kepala yang bulat mengingatkanku pada bola mainan Sheva, keponakanku. Bola mata yang agak merah memperjelas kusutnya rute pembuluh darah di kedua matanya. Rambut yang menipis cocok dengan postur tubuhnya yang kurus kering.
“Ah, nggak”, jawabku singkat. Biasa, untuk orang yang belum dikenal begitulah gayaku.
“Dari Bandung ya ?”, tanyanya untuk mengulang informasi yang ditangkap oleh matanya terhadap huruf “D” di pelat kendaraanku, yang diteruskan oleh sel saraf ke otaknya, hingga reaksi kimia di kepalanya membuat ia menyelipkan kata “Bandung” dalam pertanyaannya.
“Saya orang Jakarta kok Pak”
Sebenarnya aku ingin menyebut diriku berasal dari Pekanbaru, tetapi karena takut malah menjadi bahan pertanyaan baru baginya, aku jawab saja aku dari Jakarta, kota yang aku tinggali sekarang.
“Kemana pun dia pergi, saya terus ikut. Dia juga sering minta saran ke saya. Dia gak mau jauh dari saya. Pernah saya bilang ke dia, “Kamu jangan bohong. Saya tahu kok kalau kamu main tanah”. Sampai sekarang dia masih aja tuh butuh saya”.
Aku sebenarnya tidak tahu bagaimana dia bisa bercerita sampai kesitu. Aku sedang larut dengan bacaanku hingga koran yang telah selesai kubaca kulipat dan kuambil sebuah buku mengenai memoar seorang guru yang kukagumi, masih terasa tetes air mata yang menggenangi hati ini ketika mendapat kabar bahwa beliau telah tiada dalam wudhunya. Oh ya, aku baru ingat. Rangkaian ceritanya berawal dari pertanyaanku mengenai siapa Gubernur Jakarta yang menurutnya paling bagus, pertanyaan yang menurutku pantas untuk seseorang yang dari umur 2 hari sudah di Jakarta dan telah menghitung sendiri usianya yang ke-54 sampai saat ini. Ya, ceritanya tadi adalah kisahnya ketika ia menjadi pengawal gubernur. Walau gubernur berganti, ia tetap menjadi orang kepercayaan sang pejabat.
Aku rasa kalau orang lain yang mendengarkan ceritanya, mungkin orang lain tersebut akan bergumam dalam hati, “Besar bual”. Aku sendiri juga bingung, mau percaya atau tidak.
“Yak”, serunya melihat aku menghidupkan mobil. Aku menunggu istriku dan teman-temannya masuk ke dalam mobil. Spontan ia membuka spion mobil yang tadi kulipat tetapi lupa aku benarkan kembali.
“Terima kasih ya Pak”
Kuberikan dua ribu rupiah kepadanya sambil aku berlalu dari hadapannya ke arah antrian mobil di pertigaan yang ramai.
Sambil memutar setir dan bergantian menginjak pedal gas dan rem, pikiranku kembali membuka lembaran kisah orang tua itu. Cerita dan ingatannya kuat mengenai Jakarta, tetapi penggalan ceritanya yang tadi itu lho, yang membuatku bertanya dalam hati, “Benar gak sih dia itu dulu seorang.....”, ah, di Jakarta ini kadang sulit bagi aku sendiri membedakan mana yang murni, buatan, campuran, atau yang daur ulang.
Selepas lampu merah mobilku pun melaju meninggalkan setting waktu dan tempat yang menjadi masa lalu bersamaan dengan perpindahan dan perubahan waktu yang setiap hari disaksikan dan menjadi pengalaman langsung sang ibukota. Kisah-kisah itu tidak hilang, tetapi ia berpindah dari tempat titik-titik waktu yang satu ke tempat titik-titik waktu yang lain, bak suara kereta api yang sayup terdengar dari jauh, makin dekat makin keras, dan kemudian sayup lagi terdengar menjauh.

Jakarta, 29 Jan 07

0 Comments:

Post a Comment

<< Home